Rabu, 14 Juli 2010

Inspiring Story

I got this story from a book titled as “ Jalan Cinta Para Pejuang “ written by Salim A. Fillah.
By this story, i would like to share about what should we do to manage our possessive feeling in right ways. I think this story so inspiring for us. So, let’s read it and give a comment please..
( sorry Mbak Wulan, actually I want to translate this story to English, but unfortunately, I don’t have enough time to do it..
I hope this story will be inspiring you hehehe ^_^ )
I have given a comment in the last story.

Sergapan Rasa Memiliki
..milik nggendhong lali..
Rasa memiliki membawa kelalaian
-peribahasa Jawa-
SALMAN AL FARISI memang sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mukminah lagi shalihah juga telah mengambil tempat di hatinya. Tentu saja bukan sebagai kekasih. Tetapi, sebagai sebuah pilihan dan pilahan yang dirasa tepat. Pilihan menurut akal sehat dan pilahan menurut perasaan yang halus, juga ruh yang suci.
Tapi bagaimanapun, ia merasa asing di sini. Madinah bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki adat, rasa bahasa dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia berpikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah berbicara untuknya dalam khitbah (melamar). Maka disampaikannya gelegak hati itukepada sahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abud Darda’.
“Subhanallaah.. wal hamdulillaah ..”, girang Abud Darda’ mendengarnya. Mereka tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup, beriringanlah kedua sahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah dari seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa.
“Saya adalah Abud Darda’, dan ini adalah saudara saya, Salman, seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli baiatnya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.”, fasih Abud Darda’ berbicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni.
“Adalah kehormatan bagi kami,”, ucap tuan rumah, “Menerima Anda berdua, sahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang sahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.” Tuan rumah memberi isyarat ke arah hijab yang di belakangnya sang puteri menanti dengan segala debar hati.
“Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang berbicara mewakili puterinya. “Tetapi karena Anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun, jika Abud Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama (juga bermaksud melamar untuk dirinya sendiri), maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”
Jelas sudah. Keterusterangan yang mengejutkan, ironis, sekaligus indah. Sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya! Itu mengejutkan dan ironis. Tapi, saya juga mengatakan indah karena satu alasan; reaksi Salman. Bayangkan sebuah perasaan, dimana cinta dan persaudaraan bergejolak dan berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa dia memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya. Mari kita dengar ia berbicara.
“ Allahu Akbar!”, seru Salman, “Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abud Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!”

Cinta tak harus memiliki. Dan sejatinya kita memang tak pernah memiliki apapun dalam kehidupan ini. Salman mengajarkan kita untuk meraih kesadaran tinggi itu di tengah perasaan yang berkecamuk rumit; malu, kecewa, sedih, merasa salah memilih pengantar, merasa berada di tempat yang keliru, di negara yang salah , dan seterusnya. Ini tidak mudah. Dan kita yang sering merasa memiliki orang yang kita cintai, mari belajar pada Salman. Tentang sebuah kesadaran yang kadang harus kita munculkan dalam situasi yang tak mudah.
Sergapan rasa memiliki terkadang sangat memabukkan..
Rasa memiliki seringkali membawa kelalaian. Kata orang Jawa “Milik nggendhong lali”. Maka menjadi seorang manusia yang hakikatnya hamba adalah belajar untuk menikmati sesuatu yang bukan milik kita, sekaligus mempertahankan kesadaran bahwa kita hanya dipinjami. Inilah sulitnya. Tak seperti seorang tukang parkir yang hanya dititipi, kita diberi bekal oleh Allah untuk mengayakan nilai guna karunia-Nya. Maka rasa memiliki kadang menjadi sulit untuk ditepis.
Di jalan cinta para pejuang, hakikat ini akan kita asah. Bahwa kita semua milik Allah dan hanya kepada-Nya kita akan kembali. Maka dengan sahabat yang paling mesra, dengan istri yang paling setia, atau anak-anak yang berbakti, hubungan kita bukanlah hubungan saling memiliki. Allah hanya meminjamkan dia untuk kita dan meminjamkan kita untuknya. Mari belajar lebih jauh tentang hakikat ini.

comment : this story so inspiring. It taught us about friendship, love, possessive feeling and another lesson that cannot stated. Although Salman’s willing to marry the girl has been refused, Salman don’t sad. Salman sacrificed his love to save his friendship.. this is the main wise that I get from this story.

-Wulandari-

0 komentar:

Posting Komentar

 

berbagi kisah lewat kata dan puisi.. © 2008. Design By: SkinCorner